Solusi verifikasi PayPal dengan VCC murah Indonesia expired 1 tahun

Jumat, 18 Desember 2009

Analisis Pengertian Ilmu Sosial dan Budaya Dasar

Analisis Pengertian Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar adalah cabang ilmu pengetahuan yang merupakan integrasi dari dua ilmu lainnya, yaitu ilmu sosial yang juga merupakan sosiologi (sosio:sosial, logos: ilmu) dan ilmu budaya yang merupakan salah satu cabang dari ilmu sosial. Pengertian lebih lanjut tentang ilmu sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi masalah-masalah sosial, sedangkan ilmu budaya adalah ilmu yang termasuk dalam pengetahuan budaya, mengkaji masalah kemanusiaan dan budaya.

Secara umum dapat dikatakan ilmu sosial dan budaya dasar merupakan pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan. Istilah ISBD dikembangkan pertama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”.

Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humnus yang artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya.

Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the humanities disamping tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang lain sebagai manusia itu sendiri.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang asal mula ilmu sosial dan budaya dasar, perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Prof Dr.Harsya Bactiar mengemukakan bahwa ilmu dan pengetahuan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu :

1.Ilmu-ilmu Alamiah ( natural scince ). Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah. Caranya ialah dengan menentukan hukum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu kualitas.
Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu dibuat prediksi.

2.Ilmu-ilmu sosial ( social scince ). Ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tetapi hasil pengkajian ini lebih bersifat kualitatif, sebab hal ini menyangkut pola perilaku dan tingkah laku manusia di masyarakat yang cenderung berubah-ubah.

3.Pengetahuan budaya ( the humanities ) bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataan-kenyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti.

Pengetahuan budaya (the humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup keahlian (disilpin) seni dan filsafat. Keahlian inipun dapat dibagi-bagi lagi ke dalam berbagai bidang keahlian lain, seperti seni tari, seni rupa, seni musik,dll.

Sedangkan ilmu sosial dan budaya dasar adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan. Dengan perkataan lain ISBD menggunakan pengertian-pengertian yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan sosial budaya untuk mengembangkan wawasan pemikiran serta kepekaan mahasiswa dalam mengkaji masalah masalah sosial manusia di masyarakat dalam tingkah lakunya dalam kehidupan dan kebudayaan yang menyertainya.

Ilmu sosial dan budaya dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Inggris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahas inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu sosial dan budaya dasar bukan hanya ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaannya.

Bertitik tolak dari kerangka tujuan yang telah ditetapkan, dua masalah pokok bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup kajian mata kuliah ISBD. Kedua masalah pokok itu adalah :

1.Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) didalam pengetahuan budaya, maupun secara gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya.

2.Hakikat manusia yang satu atau universal, akan tetapi yang beraneka ragam perwujudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.

Menilik kedua pokok masalah yang bisa dikaji dalam mata kuliah ISBD, nampak dengan jelas bahwa manusia menempati posisi sentral dalam pengkajian. Manusia tidak hanya sebagai obyek pengkajian. Bagaimana hubungan manusia dengan alam, dengan sesama, dirinya sendiri, nilai-nilai manusia dan bagaimana pula hubungan dengan sang pencipta menjadi tema sentral dalam ilmu sosial dan budaya dasar ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asih. Materi lengkap Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Sumber http://www.ziddu.com/download/2453324/MateriIBD.pdf.html diunduh pada Sabtu, 26 September 2009 pukul 17.08.
Sofa, Muhaddar. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar. Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/10/21/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup-ilmu-budaya-dasar.html diunduh pada Sabtu, 26 September 2009 pukul 17.24.
Sofa, Muhaddar. Kajian Sosiologi dan Interaksi Sosial. Sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/02/06/bidang-kajian-sosiologi-dan-interaksi-sosial.html diunduh pada Sabtu, 26 September 2009 pukul 17.27
Continue Reading...

Senin, 07 Desember 2009

Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan

Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan

Pengantar

Kata ‘ideologi’ memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur dibawah kendali US.

Apalagi sejarah perang ideologi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini adalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan kekerasan, intrik, dan konflik politik.

Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah ideologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari ideologues yang muncul paska Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan kepenntingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu.[1]

Selanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang sistematis tentang ideologi. Warna pejoratif pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideologi digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German.

Dengan mendasarkan diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas sebenarnya (false knowledge), yaitu realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik.[2].

Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan dunia karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa.[3]

Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarnya beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri, dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi.

Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertunjukan rakyat, Tayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah,[4] misalnya, bisa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin politik person kekuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial.

Untuk memahami fenomena ini, saya banyak memanfaatkan insight para pemikir dan filsuf (post)strukturalis, khususnya Louis Althusser[5] dan Michel Foucault[6] sekaligus insihgt dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam perkembangan konsep ideologi dan kebudayaan.

Foucault dan Produksi Kekuasaan


Kritik tajam atas pandangan ideologi Marx ini dilakukan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan antara false knowledge dan true knowledge. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerminkan realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap realitas lebih prior dari gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material. Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran.[7]

Menurut Foucault, wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dalamnya kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem pengetahuan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik, prosedur-prosedur nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan.

Masalah “kebenaran” selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. “Kebenaran tidak di luar kekuasaan” [8]. Karena kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan manusia dalam mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi dengan pembentukan wilayah-wilayah di mana praktek benar dan salah dapat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri.

Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu berhubungan satu sama lain? Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, tempat di mana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang diterapkan, alasan-alasan yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan salah ditentukan di dalamnya. Melalui penelitian arkeologinya, Foucault menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta bermacam-macam ritual pekerja dan publik, tempat di mana genealogi bentuk-bentuk sejarah (“teknologi moral”, “rezim rasionalitas”) itu hadir: Seperti: dalam praktek pengobatan klinis, hukuman penjara sebagai praktek menghukum umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit mental.

Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek kekuasaan. Tipe praktek-praktek ini tidak hanya diatur oleh institusi, ditentukan oleh ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmatis, tapi juga mempengaruhi regularitas mereka, logika, strategi pembuktian diri dan alasan-alasan mereka.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarnya berjalin-kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana relasi kekuasaan berlangsung dan kebenaran diciptakan.

Althusser dan Aparatus Ideologis


Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui proses diskursif, Althusser memberi sumbangan pada bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan.

Pertama-tama dengan menolak Marx, ia menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa menangkap realitas sebenarnya karena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita hanya bisa merasakan meski bukan ‘kondisi real’, cara-cara di mana kita telah dibentuk dalam ideologi melalui proses-proses pengenalan yang kompleks.

Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.[9]

Kedua, ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatus-aparatus dan praktek-prakteknya sehingga di dalamnya ideologi bisa hidup. Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapitalis. Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, maka ia harus dimaterialkan.

Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi.[10]

Ketiga, ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi subyek.[11] Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai ‘benar’ dan ‘jelas’. Misalnya begini: ketika kita bersepeda motor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Serentak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kita lakukan.

Lalu kita memalingkan muka dan berbalik. Hadirnya disposisi tentang ‘benar/salah’, atau ‘melanggar/tidak melanggar’ serta adanya ketundukan atas wacana otoritas (polisi) pada dasarnya telah menunjukkan hadirnya suatu ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita secara nir-sadar, melalui proses interpelasi subyektif. Jikalau seandainya kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi adalah ideologis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni ‘denegasi’ praktis dari karakter ideologi sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar dan menjadi bagian hidup dan gaya hidup sehari-hari.

Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni[12] yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya, dengan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai.

Menurut Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. “Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa”.[13]

Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa mereka yang berada dalam posisi dominan sesungguhnya sama sekali tidak hadir secara alamiah atau karena keahliannya. Karena jika benar demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideologi, juga tak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi mereka.

Sebaliknya ini menunjukkan persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan memerlukan legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering menggunakan “bahasa resiprositas”. Dia mencontohkan bahwa imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya hubungan sosial yang harmonis.[14]

Apa yang dikemukakan Althusser ini memberikan insight baru tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahankan serta apa efek-efeknya. Misalnya: bagaimana perbedaan kelas diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah; bagaimana institusi pendidikan itu menempatkan masyarakat dalam relasi kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu, persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dalam teks dan praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mitos kesamaan yang tumbuh dalam “produksi ketaksamaan” ini (produksi ketidaksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya) menunjukkan gagasan-gagasan yang ideologis.[15]

Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi memberikan identitas tertentu.[16] Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacara-upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis.

Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentang siapa kita sesungguhnya.

Ideologi sebagai Praktek Kebudayaan


Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser dan Foucault di atas memberi saham besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat sebagai salah atau benar, tapi justeru memberikan kerangka dasar fundamental bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan ‘hidup’ sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai praktis hidup kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya.

Dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian.[17] Karena unit-unit sosial merupakan bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari apparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Althusser), maka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan “eksegesis” sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.

Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan fenomana keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justeru ideologi dan kekuasaan telah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks ketimbang apa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-kategori dibangkitkan dan disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar.

Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandangan Stuart Hall, kebudayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah sebuah praktek, yakni praktek “penandaan” yang menghasilkan makna. Jadi bagi kaum strukturalis dan post-strukturalis, penekanan studi kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana sistem-sistem budaya itu.

[18] Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betul-betul dicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal menghadirkan kekuasaan representasi melalui kuasa tanda dan simbol: dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya adalah bahwa seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstruksi saja dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara terus menerus.

Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan praktek budaya; suatu efek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi, kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi secara ‘tersebar’ (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ‘ideologi-sebagai-kebudayaan.’ Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan (pengetahuan, citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wacana dan aparatus-aparatusnya.

Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis? Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di luar tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses relasi itu.[19] Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu.

Dengan demikian, sains sosial kini juga harus dilihat sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. Sains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.

Dari uraian di atas makin jelas sekarang betapa besar sumbangan kaum (post) strukturalis terutama Louis Althusser dan Michel Foucault dalam memperkaya gagasan tentang ideologi dan kebudayaan. Keduanya membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikirkan kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali dalam sains sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi.

Ideologi tidak hanya ada dalam kolektifitas masyarakat borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaan dan kerja mereka, melainkan tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidang-bidang pengetahuan dan praktek-praktek kebudayaan sebagai tempat berbagai kekuasaan (sosial, ekonomi, politik) diproduksi.

Kesimpulan


Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara kerjanya dalam pengertian false consciousness atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana kaum marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dijalankan demi suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan orientasi dan identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.

Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam kajian tentang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena pertarungan ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah sasaran sistematik untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos.[20] Membongkar aturan-aturan atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.

Bahan Bacaan:


Althusser, Louis, For Marx, (transl. By B. Brewster) Routledge, New York, 1969

Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk “Basis-basis Material Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991

Budianta, Melani, dkk, Analisis Wacana dari Linguistik ke Dekonstruksi, Penerbit Kanal, Yogykarta, 2002

Hebdige, Dick, Subculture The Meaning of Style, Routledge, London & New York, 1979

Foucault, Michel, The History of Sexuality: An Introduction, Billing & Sons Ltd, Guilford, London and Worcester, 1969

Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault” (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New York, 1980

Gluckmann, Miriam, Structuralist Analysis in Contemporary Social Thought, Routledge & Kegan Paul, London and Boston, 1974

Jenks, Chris, Culture: Key Idea, Routledge, London & New York, 1993

Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1996

McCarthy, E. Doyle, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996

Poster, Mark, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton University Press, New Jersey, 1975

Zizek, Slavoj (ed.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994

Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003

Thompson, John B., Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta, 2003


[1] E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 32

[2] Barangkali contoh mudahnya adalah absennya pemahaman dalam kesadaran ita bahwa apa yang kita beli di pasar atau mal-mal adalah hasil dari eksploitasi terhadap para buruh.

[3] Mark Poster, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton University Press, New Jersey, 1975, hal. 344. Bisa dibandingkan dengan E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 33

[4] Dalam tradisi NU terdapat ritual yang menjadi identitas warga NU yang dikenal dengan istilah istighotsah. Ia berarti doa memohon kepada Allah keselamatan dan terjaga dari malapetaka. Sebagai sebuah tradisi, istighasah dalam perkembangannya tidak luput dari pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Istighasah selain sebagai ritual doa, ia juga bisa menjadi simbol perlawanan warga NU atas peminggiran yang dilakukan rezim Orba. Kadangkala ia menjadi kekuatan pembela kekuasaan kelompok elit tertentu.

[5] Athusser adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis pada 1918. Bergabung dengan Partai Komunis tahun 1948. Karyanya yang berpengaruh adalah For Marx (1965) dan Lenin and Philosophy (1969). Pemikirannya hendaknya mempertemukan Marxisme dengan strukturalisme

[6] Foucault adalah pemikir poststrukturlis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926. Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951.

Karya-karyanya adalah Maladie mentale et personnalitte (penyakit mental dan kepribadian) terbit thun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegilaan), The Birth of Clinic, Archeology of Knowledge, Disciplines and Punish serta The History of Sexuality. Ia meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyakit AIDS.

[7] E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 37

[8] Foucoult, The History of Sexualiy, hl. 131-133 dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal 38

[9] Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta; lihat juga John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003, hal.160-172

[10] Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid., hal. 41.

[11] E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 41-42

[12] Althusser memang banyak mengambil gagasan-gagasan Antonio Gramci terutama tentang intelektul organik. Intelektual organik yang dimaksudkan oleh Gramsci tertuju pada individu-individu, namun Althusser menggunakannya pada komunitas yaitu intelektual organik kolektif. Yakni kuasa negara dengan aparat-aparat ideologisnya. Althusser menyebutnya dengan istilah Ideological State Apparatus (ISA) yang bersifat ideologis. Ini ia bedakan dengan Repressive State Apparatus (RSA) yang bersifat represif. Keterangan dari Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatus (Notes toward Investigation)” dalam Slavoj Zizek (ed.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994.

[13] Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Op.cit., hal. 39

[14] Dengan gagasan ini tampak sekali bahwa Althusser benar-benar seorang marxis tulen, bahwa ideologi borjuis bukan hanya dimiliki oleh kaum kapitalis tapi juga diapropriasi oleh kaum proletar. Di sini samar-samar gagasan Gramsci mengenai pentingnya hegemoni untuk meraih konsensus sangat kelihatan.

[15] E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 40

[16] Ibid. hal. 41

[17] Amrih Widodo dalam penelitian antropologinya terhadap pertunjukan Tayub di daerah Blora Jawa Tengah menunjukan bahwa Tayub yang pada awalnya sebagai pertunjukan rakyat atau bagian dari ritual sunatan, bersih deso, dan perkawinan mulai berubah selama periode 1987-1991. Pemerintah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata dan simbol kedaerahan) dengan ‘meningkatkan statusnya’ menjadi Seni Tayub.

Diantaranya dengan melakukan pembinaan dan program penataran untuk merubah struktur dan keaslian Tayub. Lihat Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk “Basis-basis Material Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991.

[18] Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Op.cit., hal. 44

[19] Foucault, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault” (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New York, 1980, hal 94, dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 44

[20] Barthes menerapkan metodenya yang berakar pada linguistik ke dalam gejala sosial kebudayaan seperrti foto, film, makanan, pakaian, dan seterusnya. Dalam studi-studi kebudayaan, Hebdige dengan baik meramu gagasan-gagasan para pemikir seperti Althusser, Gramsci dan Barthes ini untuk memahami gejala-gejala budaya seperti gaya hidup masyarakat subkultur. Lihat, Dick Hebdige, Subculture The Meaning of Style, Routledge, London & New York, 1979, terutama bagian pertama “From Culture to Hgemony”.

*Sumber : http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ideologi-praktek-kebudayaan/
Continue Reading...

Puisi Slamet Rahardjo Rais

Puisi Slamet Rahardjo Rais
Prosesi Senja

catatan atas masjid tua di Cijantung, geletarku

tak ada kesepakatan yang perlu dirundingkan

sepasang mata-sepasang mata sigap

beriringan sampai kepada dzikir lampu

bahkan menjemput dalam kerinduan

"Assalamu'alaikum, semuanya saling bersaudara

memeliharakan kebun mawar milik kita!"


maka sunyi membuka senja

catatan menjaga luka


coba dengar baik-baik suara

menggali seribu yang bertasbih

dalam kemuliaan

sedikit pun tak merasa sebagai orang asing

seketika Qobil terbunuh tanpa dibunuh
*1998/2000


Ketika Anak-Anak Berangkat Mengaji

sebenarnya senja saat itu milikmu juga

peluk dan segera jemput

ruang tunggu dengan menghiasinya melalui

suara anak-anak berangkat mengaji]

warna yang menggoda


sekarang milik siapa pintu jendela rumah

ketika membaca cahaya di matanya

anak-anak bagian dari kalimat

yang dilisankan dalam isyarat

membersihkan atau memberi buram lonceng bergetar


maka bergeser menuliskan setiap sudut tertangkap

menghidupkan seluruh sujud yang terdampar

nyanyian anak-anak suaranya

menjadi warna langit menjelang maghrib tiba

akhirnya menjelaskan tentang mulut dan tangan:

Senantiasa


Gelagat Penjernihan Jiwa


bersiasat saja terhadap waktu yang terperangkap letak

seribu letak memang sudah berdiri lama

sampai kepada kalkulasi-kalkulasi terjal

bisikan yang tergiring dimana sebenarnya tempat bersipuh

terserah ketika maghrib tempat bertujuan

adalah keriduan telah mencapai gerbang kebun bunga

warna yang mengesankan cukup membasah

terhadap setiap yang berjelajah bagi kehendak


sejumlah keinginan seribu kali harus dibujuk

melalui senja segera tiba

ketika membebaskan seluruh lelah dan lesu mimpi buruk


bersyukur juga sebab waktu tak pernah melupakan

beban kepak sayap yang terluka

diberikanlah sejumlah jamuan pesta

memperlihatkannya sebagai yang mengampunkan

setiap saat dalam bentuk sujud yang merebah

sampai kepada kekuatan peluk penyatuan diri

menjelang tanda-tanda malam

menjadi milik siapa pun yang keras memintanya.

*Ramadhan, 2001


Catatan Yang Dituliskan Atas Kematian

angin yang memberiku sebuah upacara

derai batang cemara menyendiri

dalam birahi

memeluk kerinduan ibu kandung suara


saat memiliki upacara dalam diam

dan kehilangan

saksi paling dalam menupuknya air mata

tangis yang tertahan

menggenapkan hitungan


sudah jelas ayat-ayat yang dituliskan

sebagai api terhadap nyala

sekarang masjid miliknya ditutup kembali

menunggu sebuah kesempurnaan


upacara selesai sudah suara berbincang

kembali riuh

tak lagi nyayian kamboja


orang-orang pulang. sekali lagi

memetik nyala upcara

tetapi sulit membacanya kembali

sebab mereka telah kembali

sebab mereka telah kembali menjadi batu


98/2000


*Sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=27
Continue Reading...

Budaya : Koreografer Tiga Negara Tampil di Riau

Koreografer Tiga Negara Tampil di Riau
Sebanyak 23 orang koreografer (penata tari) asal Indonesia, Amerika Serikat dan Malaysia berencana mempertunjukkan kebolehan mereka dalam "Pasar Tari Kotemporer" yang diselenggarakan Pusat Latihan Tari Laksamana Pekanbaru. Ketua Panitia Pelaksana, Iwan Irawan di Pekanbaru, menyatakan, helat tersebut akan digelar selama tiga hari (19-21 September 2002) dipusatkan di Bangsal Kiambang, Kompleks Dewan Kesenian Riau (DKR) di Pekanbaru.

"Pasar Tari Kotemporer" ketiga setelah pelaksanaan serupa tahun 1997 dan 1999, sebagai wujud cita-cita menjadikan Pekanbaru sebagai pusat tari kotemporer di Sumatera. Bersamaan gelar tersebut lanjutnya, panitia juga menyelenggarakan sarasehan yang menampilkan para pengamat tari ternama Indonesia yakni Tom Ibnur (Jakarta), S. Tri Sakto (Jakarta) dan Ben M Pasaribu (Medan).

Dijelaskannya, sarasehan ini bisa diikuti siapapun yang berminat, acaranya tidak terlalu formal, karena mungkin tempatnya di alam atau ruang terbuka. Ke 23 tokoh koreografer yang sudah dipastikan kehadirannya adalah, tiga dari luar negeri masing-masing Polly Motley (AS), Rachael Scot Crefod (AS), Jois Eslim (Malaysia). Dari Jawa terdiri Eko Supriyanto (Solo), Bimo (Jogjakarta), Sutopo (Jogjakarta), dan Elfindra (Jogjakarta).

Koreografer asal Sumatera terdiri tiga dari Padang yakni Eri Mepri, Indrayuda dan Erwanto (Padang); tiga dari Medan yakni Iskandar Muda, Susi F Rangkuti dan M. Suarsono ; satu dari Bengkulu yakni Intan HS. Utusan dari Provinsi Riau sendiri terdiri Faisal Amri (Batam), M. Zakir (Kepulauan Riau), Syafrinaldi (Tembilahan), dan tuan rumah Pekanbaru diwakili lima orang yakni Iwan Irawan, Irvan Nur, Sunardi, Dunny S dan Vivin.

*Sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=1119
Continue Reading...

Tim Kesenian Bali Akan Pentas di Jepang

Tim Kesenian Bali Akan Pentas di Jepang
Pementasan tim kesenian Bali di sejumlah kota besar di Jepang cukup sukses, sehingga kembali mendapat 'pesanan' untuk mengadakan lawatan ke negeri Matahari Terbit itu, tahun depan. "Setiap pementasan dalam gedung berkapasitas 3.000 orang selalu penuh dipadati penonton," ujar Ketua Tim Kesenian Bali, I Ketut Suwentra, SST yang baru tiba dari mengadakan lawatan bersama 30 seniman ke Jepang, seperti dilaporkan Antara dari Denpasar.

Suwentra menyatakan, sejumlah sponsor sudah sanggup membiayai keberangkatan sedikitnya 30 seniman Bali ke Jepang pada bulan Juli atau Agustus tahun depan. Peluang itu perlu dipersiapkan sejak dini, khususnya menyangkut materi dan garapan seni yang lebih mengutamakan mutu, sehingga mampu memberikan kesan unik dan menarik, meskipun masyarakat internasional sudah berkali-kali menyaksikan kesenian Bali.

Ketut Suwentra yang juga Ketua Sekaa (grup) Jegog Suar Agung, Kabupaten Jembrana itu menambahkan, lawatan ke Negeri Sakura selama dua pekan kali ini mengadakan tiga kali pementasan. Selain itu, mengadakan tiga kali pertemuan dengan kalangan perguruan tinggi dan pencinta seni membicarakan Jegog, kesenian khas kabupaten Jembrana, Bali.

Pementasan kesenian Jegog dalam lawatan kali ini, menitikberatkan pesan-pesan perdamaian kepada masyarakat dunia yang dikemas sedemikian rupa dalam garapan tari dan tabuh, yang dirancang secara profesional. Garapan kreasi baru baik tabuh maupun tari yang dipentaskan di negeri Sakura, antara lain tari kreasi Prewira Suta Agung dan Pring Graha dengan iringan tabuh yang menggambarkan aktivitas keseharian putra-putri Bali. Suwentra menjelaskan, pentas diawali dari kota Tokyo yang mendapat perhatian besar, menyusul di kota Zizuoko, di lereng kaki Gunung Fujiama dan terakhir di kota Kapui. Alunan instrumen musik yang merdu dari bahan aneka bambu itu, semakin mendapat tempat dihati masyarakat Jepang, terbukti permintaan untuk pentas ke negeri Sakura itu hampir setiap tahun.

Ketut Suwentra menjelaskan, Jegog, kesenian khas Kabupaten Jembrana semakin mendapat tempat khusus di mancanegara, khususnya Jepang, karena mampu menarik perhatian masyarakat penonton. Kesenian khas itu, memiliki kristalisasi yang berkualitas dengan bentuk kreasi bervariasi serta didukung seniman andal. Kesenian Jegog diperkirakan sudah ada sejak tahun 1912, sumber inspirasinya dari angklung gerantang.

Awalnya hanya bergerak dibidang tabuh, namun kini mengiringi gerak tari. Berbagai bentuk muncul seperti Tarian Mekepung yang dibawakan enam wanita dan seorang pria. Layaknya permainan tarik pedati dengan menggunakan dua ekor kerbau sebagai penggeraknya.

Berkembangnya kesenian Jegog di Bali barat, memudahkan seleksi pengiriman tim kesenian untuk memenuhi permintaan pentas dari luar negeri. Kesenian Jegog mengadakan lawatan ke Jepang mampu memancing minat masyarakat negara itu, mendalami kesenian tersebut. Kesenian Jegog berkembang di beberapa kota besar di Jepang, sudah terbentuk lima perkumpulan Jegog di sana.

*Sumber : http://www.pelita.or.id/
Continue Reading...

Budaya : Tinggal Bahasa

Budaya : Tinggal Bahasa
........ Lanjutan dari : Kongres Kebudayaan Butuh Langkah Nyata
Tinggal bahasa

Soeparmo mengemukakan, bahasa Indonesia menjadi kekayaan satu-satunya bangsa Indonesia hari ini. Hampir semua kekayaan milik bersama warga bangsa sudah hancur. Kalau kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki bahasa Indonesia tidak ada lagi, sudah habis seluruhnya.

Semua unsur kebudayaan lanjutnya, sudah hancur sehingga mempertahankan kelangsungan bahasa Indonesia yang menjadi warisan para pendahulu menjadi tanggung jawab bersama. Kalau usaha mempertahankan bahasa Indonesia juga gagal maka habislah seluruh kekayaan bangsa Indonesia dari peradaban bangsa-bangsa dalam percaturan global.

Kesenian sebagai unsur kebudayaan yang pokok lanjutnya, menghadapi kondisi sulit. Kesenian tradisional yang menjadi wujud jatidiri bangsa Indonesia, juga kehilangan arah. Unsur kesenian tradisional yang meliputi tuntunan dan tontonan kehabisan energi, kehilangan unsur tuntunan sehingga yang tinggal hanya tontonan semata.

"Kethoprak humor yang lebih banyak peminat, selesai nonton langsung tidur tidak sempat mendiskusikan apalagi mengambil pelajaran," kata Soeparmo sambil menjelaskan, pelawak lebih mendapat tempat meski lawakan tetap penting namun masih membutuh-kan keseriusan.

Seni tradisi yang menjadi ruh dari kebudayaan lanjutnya, menghadapi kesulitan paling besar. Di tengah kehidupan serba benda, seni tradisi bagai anak ayam mati di lumbung padi. Masyar-akat pendukungnya mulai meninggalkan seni tradisi yang menjadi jatidiri bangsanya.

Wayang Orang Bharata satu-satunya bentuk pementasan kesenian tradisional di ibukota menghadapi kesulitan untuk mempertahankan kehadirannya. Untuk dapat terus berkreasi saja membutuhkan per-juangan berat sehingga mempertahankan kelangsungannya juga memer-lukan dukungan banyak pihak.

Soeparmo menjelaskan keberadaan seni tradisi sangat penting bagi kelangsungan budaya. Sayangnya seni tradisi tidak mendapat tempat di tengah percaturan global. Kebudayaan dapat diwujudkan dengan kesenian sebagai nafas utama, kalau kesenian tidak memili-ki tempat sama halnya dengan tanda-tanda kehancuran budaya secara menyeluruh.

Budaya materialisme lanjutnya, menjadi kebanggaan hampir seluruh warga bangsa. Kebudayaan yang memiliki ruh yang bersifat kedalaman menjadi tersingkirkan. Akibatnya terjadi kekeringan ruhaniyah yang pada gilirannya akan mencari bentuk baru dari kejenuhan budaya kebendaan.

"Uang menjadi ukuran segala benda, termasuk untuk mengukur hakikat seseorang sehingga menjadikan kerusakan di mana-mana," paparnya sambil menjelaskan, manusia menjadi kehilangan jatidiri sebagai insan yang berbudaya. Pemandangan yang dapat disaksikan hanyalah kekerasan, pertikaian dan persaingan tidak sehat sehingga menjadi bagian dari kehidupan secara keseluruhan.

Para pemimpin, elit politik sampai lapisan masyarakat kebanyakan hari-hari ini gemar melakukan pertikaian. Sebagai akibatnya muncul berbagai bentuk kekerasan yang menjadi ciri masyarakat tidak berbudaya. Apalagi yang bisa diharapkan dari masyarakat yang tidak berbudaya.

Baca tulisan sebelum ini, Klik di sini.
Continue Reading...

Kongres Kebudayaan Butuh Langkah Nyata

Kongres Kebudayaan Butuh Langkah Nyata


KONGRES kebudayaan yang berlangsung di tengah hiruk-pikuk kehidupan bangsa Indonesia, membutuhkan ruh agar langkah nyata menjadi agenda aksi. Sejak Indonesia merdeka sudah enam kali berlangsung kongres kebudayaan, namun tidak membuangkah langkah nyata.

Kekhawatiran berlebihan mewarnai setiap kali berlangsung kongres kebudayaan, namun tidak ada langkah nyata yang memberi manfaat bagi penggerak seni di masyarakat. Semuanya sebatas keprihatinan adanya ancaman terhadap budaya milik masyarakat dan bangsa Indonesia, tapi sebatas itu dan tidak tergerak untuk berupaya menghilangkan kekhawatiran yang ada.

Ketua Umum Badan Kerja sama Kesenian Indonesia (BKKI) Drs H Soeparmo menanggapi rencana kongres kebudayaan Indonesia ke-6 yang berlangsung dalam suasana eforia kebebasan, namun dinilai tidak bermakna bagi kelangsungan kebudayaan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Kongres hanya berdebat memperbincangkan berbagai problema, namun tidak kunjung mencari jalan keluar untuk mengatasinya.

"Sejak kongres kebudayaan pertama tahun 1948 di Magelang ada satu benang merah yakni kekhawatiran akan kelangsungan kebudayaan bangsa," paparnya sambil mengemukakan, kekhawatiran yang tidak dibarengi dengan langkah kongkrit sehingga tidak memberi makna bagi usaha menyelamatkan kebudayaan dari ancaman pengaruh dari berbagai belahan dunia.

Kebudayaan bangsa di tengah percaturan masyarakat global menurut penggerak kesenian ini, tidak mungkin menutup diri melainkan berinteraksi positif. Permasalahannya apakah ada kemampuan dari kebudayaan milik bangsa sendiri untuk berinteraksi dengan berbagai peradaban di dunia.

Selama ada kebanggaan atas budaya bangsa sendiri, akan ada usaha untuk mempertahankan. Sebaliknya kalau tidak ada kebanggaan dan rasa memiliki kebudayaan maka tidan akan ada pembelaan atas kebudayaan. "Pemilik kebudayaan itu sendiri yang akan mempertahankan kekayaan budaya," paparnya.

Masyarakat bangsa Indonesia menurut mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan pendiri Dewan Kesenian Jakarta ini, tidak memiliki kebanggaan dengan kebudayaan sendiri. Sebagai akibatnya banyak khasanah budaya yang terancam, tergusur dari percaturan masyarakat dan bangsa di dunia.

Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia hampir hilang di tengah kehidupan bersama, di luar negeri citra masyarakat dan bangsa Indonesia sangat terpuruk. Masyarakat Indonesia di luar negeri, mengalami keterpurukan itu sehingga tidak ada kebanggaan sebagai bangsa.

Potret bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional hanyalah TKI/TKW sehingga kebanggaan itu menjadi luntur di tengah kehidupan global. Hal itu sangat terkait dengan berbagai dimensi kehidupan baik sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai komponen bangsa Indonesia. Kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang sangat tertinggal.

Bersambung........ Klik di sini, untuk baca kelanjutannya.

*Sumber : http://www.pelita.or.id/
Continue Reading...
 

Blogroll

Site Info

Text

Artikel Internet I Artikel Budaya I Artikel Online Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template