Puisi Slamet Rahardjo Rais
Prosesi Senjacatatan atas masjid tua di Cijantung, geletarku
tak ada kesepakatan yang perlu dirundingkan
sepasang mata-sepasang mata sigap
beriringan sampai kepada dzikir lampu
bahkan menjemput dalam kerinduan
"Assalamu'alaikum, semuanya saling bersaudara
memeliharakan kebun mawar milik kita!"
maka sunyi membuka senja
catatan menjaga luka
coba dengar baik-baik suara
menggali seribu yang bertasbih
dalam kemuliaan
sedikit pun tak merasa sebagai orang asing
seketika Qobil terbunuh tanpa dibunuh
*1998/2000
Ketika Anak-Anak Berangkat Mengaji
sebenarnya senja saat itu milikmu juga
peluk dan segera jemput
ruang tunggu dengan menghiasinya melalui
suara anak-anak berangkat mengaji]
warna yang menggoda
sekarang milik siapa pintu jendela rumah
ketika membaca cahaya di matanya
anak-anak bagian dari kalimat
yang dilisankan dalam isyarat
membersihkan atau memberi buram lonceng bergetar
maka bergeser menuliskan setiap sudut tertangkap
menghidupkan seluruh sujud yang terdampar
nyanyian anak-anak suaranya
menjadi warna langit menjelang maghrib tiba
akhirnya menjelaskan tentang mulut dan tangan:
Senantiasa
Gelagat Penjernihan Jiwa
bersiasat saja terhadap waktu yang terperangkap letak
seribu letak memang sudah berdiri lama
sampai kepada kalkulasi-kalkulasi terjal
bisikan yang tergiring dimana sebenarnya tempat bersipuh
terserah ketika maghrib tempat bertujuan
adalah keriduan telah mencapai gerbang kebun bunga
warna yang mengesankan cukup membasah
terhadap setiap yang berjelajah bagi kehendak
sejumlah keinginan seribu kali harus dibujuk
melalui senja segera tiba
ketika membebaskan seluruh lelah dan lesu mimpi buruk
bersyukur juga sebab waktu tak pernah melupakan
beban kepak sayap yang terluka
diberikanlah sejumlah jamuan pesta
memperlihatkannya sebagai yang mengampunkan
setiap saat dalam bentuk sujud yang merebah
sampai kepada kekuatan peluk penyatuan diri
menjelang tanda-tanda malam
menjadi milik siapa pun yang keras memintanya.
*Ramadhan, 2001
Catatan Yang Dituliskan Atas Kematian
angin yang memberiku sebuah upacara
derai batang cemara menyendiri
dalam birahi
memeluk kerinduan ibu kandung suara
saat memiliki upacara dalam diam
dan kehilangan
saksi paling dalam menupuknya air mata
tangis yang tertahan
menggenapkan hitungan
sudah jelas ayat-ayat yang dituliskan
sebagai api terhadap nyala
sekarang masjid miliknya ditutup kembali
menunggu sebuah kesempurnaan
upacara selesai sudah suara berbincang
kembali riuh
tak lagi nyayian kamboja
orang-orang pulang. sekali lagi
memetik nyala upcara
tetapi sulit membacanya kembali
sebab mereka telah kembali
sebab mereka telah kembali menjadi batu
98/2000
*Sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=27
0 komentar:
Posting Komentar